INDAHNYA MEMBANGUN RUMAH TANGGA
1. PENGERTIAN MENIKAH
Kata nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti (al-jam’u) atau ”bertemu, berkumpul. Menurut istilah, nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui akad yang dilakukan menurut hokum syariat Islam.
Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ritual ibadah.
Sementara itu, menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
2. DALIL TENTANG ANJURAN MENIKAH
Seperti yang telah diketahui bahwa agama kita banyak memberikan anjuran untuk menikah. Allah menyebutkannya dalam banyak ayat di Kitab-Nya dan menganjurkan kepada kita untuk melaksanakannya.
Di antaranya, firman Allah Ta’ala dalam surat Ali ‘Imran tentang ucapan Zakariya Alaihissallam :
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabb-ku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a.” [Ali ‘Imran/3: 38].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkau-lah Waris Yang Paling Baik.’” [Al-Anbiyaa’/21: 89]. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum-mu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan…” [Ar-Ra’d/13: 38]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…” [An-Nuur/24: 32].
Dan hadits-hadits mengenai hal itu sangatlah banyak. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ، فَقَدِ اسْـتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْـنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَـا بَقِيَ
“Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya; oleh karena itu hendaklah ia bertakwa kepada Allah untuk separuh yang tersisa.”[1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ اثْنَيْنِ وَلَجَ الْجَنَّةَ: مَـا بَيْنَ لَحْيَيْهِ، وَمَـا بَيْـنَ رِجْلَيْهِ
“Barangsiapa yang dipelihara oleh Allah dari keburukan dua perkara, niscaya ia masuk Surga: Apa yang terdapat di antara kedua tulang dagunya (mulutnya) dan apa yang berada di antara kedua kakinya (kemaluannya).”[2] Jadi, masuk ke dalam Surga itu -wahai saudaraku- karena engkau memelihara dirimu dari keburukan apa yang ada di antara kedua kakimu, dan ini dengan cara menikah atau berpuasa. Saudaraku yang budiman! Pernikahan adalah sarana terbesar untuk memelihara manusia agar tidak terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan Allah, seperti zina, liwath (homoseksual) dan selainnya.
3. HUKUM MENIKAH
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah dalam artian boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi wajib, sunah, makruh, dan haram.
Adapun penjelasannya adalah sebagi berikut :
a. Jaiz atau mubah, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
b. Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah. Bila tidak menikah, khawatir ia akan terjerumus ke dalam perzinaan.
c. Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah, tetapi masih sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
d. Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau hasrat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungannya.
e. Haram, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan, tetapi ia mempunyai niat yang buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.
4. MANFAAT DAN TUJUAN MENIKAH
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.
Secara umum tujuan pernikahan dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi bahagia dan tentram. Allah SWT berfirman yang artinya :” Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. “.(Ar-Rum : 21)
2. Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih sayang antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21) :”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. “.(Ar- Rum : 21)
3. Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT
4. Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan dicatat sebagai ibadah. Allah swt., berfirman yang artinya :" Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai". (An-Nisa' : 3)
5. Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:
أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى (رواه البخارى و مسلم)
Artinya :"Nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka bukan golonganku". (HR. Bukhori dan Muslim)
6. Untuk memperoleh keturunan yang syah. Allah swt., berfirman yang artinya :” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46) Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”.
Khitbah atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si peminang atau oleh orang lain yang mewakilinya. Yang diperbolehkan selama khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan. Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya.
Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan. Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan.
Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset. Hal yang perlu disadari oleh fihak-fihak yang bertunangan adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku dalam hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :
- Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami,wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah bertunangan.
- Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).
0 Komentar